Tradisi Ngaraya Kini Dimodernisir

KUNINGANMEDIA | Rabu, 07 Agustus 2013 17:12
Bagikan ke Facebook

Ada suatu tradisi yang sampai saat ini masih berjalan di pedesaan, khususnya di Kabupaten Kuningan, yaitu tradisi “ngaraya” atau Nganjang (bertamu) menjelang Lebaran. Menurut keterangan salah seorang tokoh masyarakat Kuningan, tradisi Ngaraya ini sudah mengalami perubahan, dalam hal mengirim hidangan berupa makanan dengan lauk pauknya. Semula kiriman tersebut tidak menggunakan pemulang (jawaban menerima sajian) biasanya berupa uang atau pakaian.

Bila dikirim hidangan, sekarang sudah menjadi kebiasaan untuk menyediakan pemulang, dengan uang yang besarnya lebih dari harga kiriman yang disajikan. Sehari sebelum berlebaran, pihak keluarga Mojang menyiapkan bermacam-macam makanan/hidangan dengan lauk-pauknya, kemudian dikirimkan ke rumah si pemuda untuk disantap saat berbuka puasa.

Dengan datangnya kiriman itu, Sang Jajaka tidak tinggal diam. Ia lalu membakar petasan yang sudah disediakan sebelumnya, sebagai penghormatan. Bunyi ledakan-ledakan petasan menandakan bahwa dirumahnya ada tunangannya yang mengirim hidangan.


Maka ramailah di sekitar rumahnya. Anak-anak kecil ikut menyaksikan petasan-petasan tersebut dinyalakan, seraya memberitahukan kepada tetangganya. Sementara suara bedug di mesjid sejak menjelang sore hari sudah bertalu-talu. Sedangkan Jajaka sudah bersiap-siap dengan pakaian barunya dan membawa sejumlah uang untuk diberikan kepada tunangannya sebagai tanda ,”Mitrahan”.


Kegembiraan mereka benar-benar lengkap. Masing-masing membawa petasan untuk dibakar. Kemudian menjelang Sholat Isya dilanjutkan dengan memukul bedug di mesjid sebagai selingan.

Sang Jajaka bersama teman-temannya mengadakan takbiran di mesjid. Sementara suara petasan berbunyi saling bersahutan dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Disamping itu diantaranya ada yang sedang menghormat calon menantu, malahan kadang-kadang sampai pagi menjelang Subuh. Kemudian langsung dilanjutkan pergi ke mesjid untuk Sholat Ied.

Biasanya setelah sholat Ied, para Jajaka hilir-mudik mendatangi rumah-rumah keluarga dan kerabat-kerabatnya untuk saling minta maaf dan memohon do’a restu bagi orang tua mereka. Setelah pertunangan mereka disetujui, hubungan mereka semakin intim. Sang Jajaka dengan penuh PD semangat menggarap sawah orang tuanya, kemudian memilih sepetak sawah khusus untuk tunangannya nanti kalau sudah menikah.


Sementara itu Sang Jajaka menghubungi tukang bordir yang ahli dalam bidang sulam-menyulam. Lalu memesan dua buah saputangan untuk tali tudung cetok (tudung petani yang dianyam berlapis dua). Biasanya pada tudung tersebut bersulam tulisan nama-nama mereka yang istilahnya disebut sebagai,”Ngadukuyan”.

Pengiriman tudung dengan saputangan bersulam itu merupakan surat undangan untuk hari tandur (mulai menanam padi di sawah). Sehingga pihak Si Mojang membuat persiapan pula untuk menyediakan makanan sebaik mungkin, terutama makanan yang dibuat sendiri bersama ibunya.

Makanan itu dibawa oleh Si “Penglayar” (Perantara) kemudian Sang Mojang membawa poci berisi air, khusus buat tunangan dan orang tuanya. Makanan tersebut dibawa dalam sebuah ‘tetenong’ (tempat makanan yang dibuat dari anyaman bambu).

Sementara pada bagian lain, para petani yang ikut tandur menambah semarak suasana acara pertunangan mereka. Walaupun masih malu-malu, mereka makan bersama dengan pihak keluarga Sang Jajaka.
Bila garapan Si Mojang  belum sempat selesai, maka para Mojang dari pihak keluarga Sang Jajaka. Mereka turun ke sawah beramai-ramai membantu menyelesaikan tandur.

Sementara itu menjelang panen raya, yang disebut,”Ngadukuyan,” ada tradisi memberikan tudung. Akan tetapi mengalami sedikit perubahan dan peningkatan bentuk maupun warna tudungnya.
Tudungnya berbentuk “leang-leang” bercat hijau bertalikan renda putih atau mawar krem, dilengkapi dengan ketam yang bertangkai panjang dan berbatik sungging, ditambah pula kain kebaya dari bahan paris yang tipis, selendang dan “BH”.


Sebaliknya Si Mojang menyediakan kain kutung atau kampret hitam atau warna biru dengan topi “piopinder” (topi anyaman buatan Tasikmalaya berwarna coklat tua, pada daun topinya berkancing mata itik untuk menyimpan talinya).

Keesokan harinya Si Mojang mempersiapkan hidangan Istimewa, berupa makanan dan lauk-pauk untuk makan bersama di sawah. Dengan pakaian hasil pemberian mereka, Si Mojang pergi ke sawah menuai padi, sementara Si Jajaka menjelang siang hari sibuk bekerja di sawahnya, mengikat padi secara “Pocongan”.
Mereka yang ikut menuai padi masing-masing memperoleh “Bawon”, yaitu sebagai upah kerja dari mulai menanam sampai memetik hasil panen.

Sebagian lagi hasil panen itu dibawanya sebagai upah.
Sementara itu, Sang Jajaka sibuk dengan pekerjaannya mengangkut jajaran padi. Kemudian baru sore harinya memikul padi hasil tunangannya dan langsung dikirim ke rumah sang pacar menjelang Magrib.

Tradisi Ngaraya ini masih berkembang dan hidup di daerah pedesaan di Kabupaten Kuningan. Namun ada sebagian penduduk desa yang memodernisir tradisi ini, misalnya membakar petasan ditiadakan karena dilarang oleh pihak yang berwajib. Sedangkan tradisi lainnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini. (H. WawanHermawan JR/Wartawan Senior)***

Kirim Komentar

Nama
Alamat email
Alamat Web
Komentar
Tulis Kode: