SAPTONAN merupakan agenda tahunan yang diadakan setiap momen peringatan Hari Jadi Kuningan. Bahkan, dulu acara ini diadakan di lapang yang lokasinya dekat kantor bupati dan gedung DPRD Kabupaten Kuningan.
Saperti pernah beberapa kali diadakan di lapang Randu Kelurahan Cijoho, lapang Kertawangunan Kecamatan Sindangagung dan lapang sekitar kawasan wisata Linggajati Kecamatan Cilimus.
“Sekarang diadakan di daerah yang agak jauh daei pendopo yakni di wilayah Kecamatan Ciniru. Hal ini terkait dalam upaya memperkenalkan kepada warga di daerah ini,” tutur Kepala Dinas Pariwisata, Tedy Suminar, didampingi Kabid Kebudayaan, Suryono, S.Sn, kepada kuninganmedia.com
Memang, banyak warga yang penasaran untuk menyaksikan pergelaran yang boleh dibilang langka ini. Buktinya, setiap tahun pertunjukan ini selalu dinanti warga.
Sebelum pergelaran saptonan dan panahan dimulai, biasanya diawali dengan prosesi atau upacara yang menggambarkan keadaan masa kerajaan. Sejumlah peserta pun sudah mempersiapkan unjuk kebolehan untuk mengikuti adu ketangkasan menunggang kuda, dengan mengenakan kostum mirip pada jaman kerajaan.
Misalnya patih, adipati dan tumnggung memakai bendo, baju taqwa dain kain lancar.
Sementara, demang mengenakan pakaian yng lebih sederhana seperti kain odot, celana pangsi, sandal karet (sendal bandol) yang talinya sampai lutut. Begitu pula para menak, pamager sari mengenakan pakaian yang sama seperti dipakai adipati dan tumenggung. Ada pula mengenakan pakaian kebaya.
Adipati, tumenggung dan demang menunggangi kuda diikuti oleh para prajurit atau ponggawa yang mengenakan pakaian sampur, rompi, calana kain dodot, sendal serta membawa tumbak, tameng dan keris, kujang, pedang, gondewa dan umbul-umbul.
Menurut Kepala Disparbud Kabupaten Kuningan, Tedy Suminar, Sapton berasal dari kata Saptu (Sabtu) yakni acara rutin dilaksanakan setiap hari Sabtu setelah kegiatan seba raga (sidang) yang diadakan di sekitar Istana Karajaan Kajene (Kuningan) tempo dulu.
Sepintas, pergelaran sapton agak mirip dengan pacuan kuda tradisional. Hanya saja, saptonan bukan lomba memacu kuda, tapi merupakan uji ketangkasan menunggangi kuda sambil; melempar tombak ke arah ember berisi air yang digantung di tiang atau gawang sapton tersebut.
"Sapton sebenarnya memiliki makna yang dalam seperti heroisme, katangkasan berkuda ini dulunya dalam rangka bela nagara serta simbol kekompakan pemerintah dengan rakyatnya,” papar Tedy.
Sedangkan panahan tradisional, lanjut dia, yakni salah satu warisan luluhur karajaan Kuningan yang ditularkan kepada rakyatnya agar mampu menggunakan gondewa sebagai alat bela diri dalam menghadapi gangguan ketentraman rakyat pada jaman dahulu. Selain itu, mengandung makna pendidikan atau ajaran untuk lebih memusatkan diri dan menahan emosi. Sebab dengan jiwa yang tenang biasanya kesuksesan mudah dicapai.
“Kami berharap, budaya yang sifatnya sejarah dan nilai tradisional ini tidak hanya dijadikan tontonan, tapi mampu menggugah masyarakat dalam upaya memelihara kearifan lokal dan menjadi daya tarik wisata daerah,” jelasnya. (jun/kuninganmedia.com)*.