Mudik Lebaran

KUNINGANMEDIA | Selasa, 23 Agustus 2011 16:07
Bagikan ke Facebook

MUDIK berasal dari kata udik (bahasa Betawi yang artinya kampung. Jika seseorang yang pulang ke kampung, orang Betawi menyebutnya dengan mudik. Kemudian berkembang, mudik menjadi tren jika seseorang kembali ke kampung halaman.

Persoalannya sekarang menjadi lain, mudik menjadikan semua pihak sibuk. Instansi pemerintah dibuat sibuk, dari Polisi, sampai Organisasi Masyarakat (Ormas), bahkan Partai Politikpun sibuk ikut membantu para perantau untuk mudik ke kampung halamannya.

Jutaan penduduk Ibu Kota exodus secara bersamaan, dengan kendaraan roda dua sampai Pesawat Udara, bahkan perahu nelayanpun ikut sibuk digunakan sebagai sarana transportasi mudik.

Lebaran nampaknya identik dengan mudik.budaya mengunjungi orang tua/keluarga di hari yang fitri merupakan silaturahmi untuk saling introspeksi diri, atau lebih tepat sebagai bentuk rasa cinta terhadap orang tua dan kampung halaman.

Bagi perantau ada semacam kerinduan kepada keluarga, disamping juga ingin menunjukan hasil usahanya. Jika kita tilik budaya silaturahmi merupakan budaya lokal kita, dengan silaturahmi persoalan kecil dapat diselesaikan secara kekeluargaan.

Hari yang tepat untuk melakukan itu adalah di hari raya Idul Fitri inilah maknawi sebuah perjalanan batin selama sebulan menjalankan ibadah puasa. Mudik, tidak semata-mata icon lebaran, namun ia lebih condong kepada bentuk primodialisme (kedaerahan) yang berlebihan.

Seorang yang beristrikan orang Sunda, sementara suami berasal dari daerah luar Jawa, akan terjadi tarik-menarik kembali ke kampung istri (Sunda) atau luar Jawa (suami), bagaimana dengan anak-anak mereka ?

Jika tidak ada saling pengertian, dipastikan mereka akan bertengkar untuk menentukan mudik kemana? Mudik memang fenomena menarik setiap tahun, jika para pemudik dapat melihat daerahnya berkembang, mereka akan berceritera bahwa daerahnya sekarang maju, akan sebaliknya jika daerahnya adem-adem saja, dan melontarkan kritik yang tak habis-habisnya.

Potensi besar para perantau selama ini belum pernah disentuh oleh pemerintah daerah untuk mau berpartisipasi membangun daerah. Rasa primodialisme mereka hanya nampak saat mudik semata. Padahal jika potensi pemudik itu mampu untuk menggerakan roda pembanghunan di daerah dengan semangat primodialisme-nya pembangunan akan segera dapat dinikmati oleh keluarganya (kampung para pemudik).

Padahal pemerintah daerah dengan segala upaya telah membuat nyaman para pemudik pulang kampung, para pemudik bukan saja masyarakat kecil, tetapi ada para pejabat, petinggi, dan politisi, tapi apa yang mereka kontribusikan terhadap kampung halamannya ? Mudik bukan sekedar icon lebaran saja, tetapi mudik memiliki makna yang lebih dalam lagi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, bisakah ? (Yatno Kartaradjasa)*

Kirim Komentar

Nama
Alamat email
Alamat Web
Komentar
Tulis Kode: